“Sengkuni di Rumah Tuhan”

3 minutes reading
Saturday, 12 Jul 2025 15:25 340 Redaksi Lipsus

“Sengkuni di Rumah Tuhan”

Penulis: Hendly Mangkali

Di sebuah desa kecil yang damai, berdirilah sebuah gereja tua yang menjadi pusat kehidupan rohani masyarakat. Di sana, ada seorang pelayan gereja bernama Sengkuni—ya, nama itu membuat banyak orang terperangah. Nama yang identik dengan licik, penuh intrik, dan pengadu domba dari kisah Mahabharata, kini melekat pada seorang oknum yang katanya pelayan Tuhan.

Awalnya, semua orang menyambut baik kehadiran Sengkuni. Ia datang dengan senyum hangat, doa yang panjang, dan pelayanan yang tampak sungguh-sungguh. Ia aktif dalam ibadah, selalu di barisan depan saat pengumpulan kolekte, dan tak segan membantu pastor membereskan altar. Jemaat pun mengira, inilah orang yang telah dipanggil secara khusus untuk melayani.

Di balik senyumnya, Sengkuni gemar membisikkan kata-kata halus tapi tajam. Ia mulai menyebar cerita tentang sesama pelayan gereja: bahwa si A mencuri kolekte, si B suka berbohong, dan si C hanya mencari muka di depan pastor. Sengkuni tak pernah menunjukkan kemarahan, tapi dari mulutnya mengalir racun yang tak kasat mata. Gereja yang dulunya rukun, kini mulai retak. Jemaat saling mencurigai. Sahabat berubah jadi lawan.

Sengkuni merasa berhasil. Ia tak memegang kuasa secara langsung, tapi ia menjadi pusat semua keputusan, karena bisikannya, karena tipu dayanya, karena ia tahu cara membuat yang lain terlihat buruk tanpa harus kotor tangannya sendiri.

Semua tipu daya bertopeng rohani ia lakukan. Bahkan ia membeli ijazah S2 palsu, agar terlihat seperti orang berpendidikan tinggi. Sementara orang tidak tau, jika ia seorang yang kelainan seks. Suka video call seks dengan brondong, bahkan terkadang menawarkan diri. Sengkuni ini juga menjabat sebagai seorang wakil rakyat, namun tidak terpilih lagi. Bahkan ramai-ramai orang meninggalkan partainya.

Namun suatu hari, gereja itu kedatangan seorang pendeta tua yang bijak. Ia diam-diam mengamati, mendengar, dan berdoa. Ia tak tertipu oleh senyum manis Sengkuni. Dalam satu khotbah yang mengguncang, ia berkata:

“Celakalah mereka yang memakai jubah pelayanan untuk menyembunyikan ambisi pribadi. Rumah Tuhan bukan tempat menjalin kuasa dengan cara busuk. Sungguh, Tuhan melihat hati yang tersembunyi.”

Pelan-pelan, jemaat mulai sadar. Mereka melihat kembali dengan mata rohani. Yang selama ini memecah bukanlah mereka, tapi satu lidah bercabang yang menyusup dalam pelayanan.

Dan begitulah, Sengkuni akhirnya pergi. Meninggalkan gereja seperti istana Hastinapura yang dulu ia porak-porandakan. Tapi kisahnya tertinggal, sebagai peringatan:

Tidak semua yang melayani di altar adalah pelayan Tuhan. Ada yang hanya menjadikan gereja sebagai panggung untuk skenario licik. Ada yang mengangkat salib, tapi membawa belati di balik jubahnya.

Penutup reflektif:

Kisah ini bukan untuk menyudutkan, tapi sebagai cermin. Apakah di balik pelayanan kita, ada ketulusan atau kepentingan tersembunyi? Apakah kita seperti Sengkuni yang menyamar sebagai pelayan, atau sungguh hamba yang melayani dengan hati?

Tuhan tidak melihat apa yang kita lakukan di depan mimbar, tapi apa yang kita bisikkan di belakang orang lain.

Disclaimer: Tulisan ini imajinasi

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LAINNYA