OPINI- Pembayaran iuran BPJS Kesehatan kelas 3 selama ini sering digembar-gemborkan sebagai wujud komitmen negara dalam memberikan jaminan kesehatan yang “terjangkau” bagi rakyat kecil. Namun, kebijakan yang justru membebani keluarga miskin dengan biaya tambahan, bahkan untuk hal yang paling manusiawi seperti penggunaan ambulans ketika pasien meninggal dunia, menjadi ironi besar di tengah slogan keadilan sosial.
Ambulans seharusnya dipandang sebagai fasilitas darurat, bagian integral dari layanan kesehatan, bukan komoditas yang dihitung lagi biayanya setelah nyawa tak lagi tertolong. Ketika keluarga miskin kehilangan orang tercinta, mereka sudah berada dalam jurang penderitaan emosional yang dalam. Apakah negara masih tega menambahkan beban ekonomi di pundak mereka? Bukankah konstitusi menegaskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara? Bukankah kesehatan adalah hak dasar, bukan barang dagangan?
Kebijakan ini memperlihatkan bagaimana paradigma pembangunan masih lebih berpihak pada logika akuntansi daripada logika kemanusiaan. Negara seolah hadir sebagai penagih, bukan sebagai pelindung. Padahal, keadilan sosial tidak berhenti pada soal hidup, tapi juga soal cara menghormati yang meninggal. Mengutip sebuah prinsip universal, “Martabat manusia tidak berhenti di ujung napas terakhirnya.”
Mengapa rakyat miskin harus terus menerus membayar harga yang lebih mahal untuk kemiskinan mereka? Apakah karena mereka hanya mampu membayar kelas 3, maka mereka pantas diperlakukan dengan standar yang serba minimal? Jika negara hanya melihat angka dan bukan derita, maka itu bukan lagi pelayanan publik, melainkan diskriminasi yang dilembagakan.
Ketika kematian pun menjadi beban finansial, itu artinya negara gagal memahami makna empati. Kebijakan seperti ini tidak sekadar tidak adil, tetapi juga menggerogoti kepercayaan rakyat pada institusi negara. Negara yang semestinya hadir sebagai pengayom justru berwajah dingin birokrasi yang menagih tanpa peduli.
Kritik terhadap kebijakan ini bukan sekadar soal teknis pembayaran, tetapi menyangkut prinsip fundamental: apakah negara benar-benar berpihak pada yang lemah, ataukah hanya sekadar menyediakan program formalitas yang menutupi ketidakadilan struktural?
Karena itu, revisi mendesak dibutuhkan. Ambulans harus ditempatkan sebagai bagian dari hak pelayanan kesehatan dasar, khususnya bagi mereka yang miskin. Negara tidak boleh hanya menghitung ongkos, tetapi juga menghitung air mata rakyat kecil. Sebab pada akhirnya, keadilan sosial bukan dinilai dari kata-kata, melainkan dari cara negara memperlakukan mereka yang paling lemah di tengah masyarakatnya.
No Comments