Pemimpin yang Melenyapkan Sejarah: Ironi Penggusuran Tanah Leluhur Suku Wana Taa

2 minutes reading
Monday, 2 Jun 2025 06:04 81 Redaksi Lipsus

Sulawesi Tengah – Ketika suara pembangunan digaungkan, suara-suara kecil dari dalam hutan mulai tenggelam. Demikianlah nasib yang dialami masyarakat adat Suku Wana Taa, salah satu komunitas adat yang hidup berdampingan dengan alam, yang kini terusir dari tanah leluhur mereka sendiri oleh proyek-proyek yang dibungkus dengan dalih “pembangunan dan investasi.”

Penggusuran ini bukan sekadar perampasan ruang hidup, tapi juga pemutusan sejarah yang telah terjalin berabad-abad antara manusia dan alam. Tanah Ulayat yang seharusnya dijaga sebagai warisan budaya dan identitas kini diratakan demi kepentingan segelintir elite. Dan ironisnya, pemimpin yang seharusnya menjadi pelindung, justru tampil sebagai penghapus jejak sejarah itu.

Masyarakat adat Wana Taa tidak pernah diberi ruang untuk bicara. Mereka tidak pernah diajak berdialog apalagi dilibatkan dalam proses perencanaan. Tanpa konsultasi, tanpa persetujuan, tanah adat mereka ditetapkan sebagai kawasan konsesi industri. Jangankan kompensasi, sekedar pengakuan hak pun diabaikan.

Alih-alih berpihak pada rakyat kecil, sang pemimpin lebih memilih berdiri di barisan investor. Tapi pembangunan yang dimaksud justru mengorbankan eksistensi dan martabat masyarakat adat.

Hilangnya Hutan, Hilangnya Jati Diri
Bagi Wana Taa, hutan bukan hanya tempat tinggal, ia adalah nadi kehidupan, ruang spiritual, dan sumber kearifan lokal. Dengan hilangnya hutan dan tanah Ulayat, hilang pula pengetahuan turun-temurun, adat istiadat, dan nilai-nilai yang telah membentuk jati diri mereka.

Saat masyarakat adat melawan dengan damai, mereka dianggap penghambat kemajuan. Padahal, siapa yang sebenarnya menghambat masa depan bangsa jika sejarah dan warisan leluhur dihapus demi kepentingan jangka pendek?

Pemimpin sejati adalah mereka yang melindungi yang lemah, bukan mereka yang menjual tanah rakyat untuk mengejar proyek ambisius. Jika pembangunan berarti menghancurkan akar budaya dan kehidupan masyarakat adat, maka itu bukan kemajuan, itu adalah kemunduran yang dibungkus tipu daya.

Kita tidak membutuhkan lebih banyak proyek, kita membutuhkan lebih banyak keadilan. Suara masyarakat adat bukanlah rintihan yang layak diabaikan, melainkan peringatan tentang ke mana arah bangsa ini berjalan. Apakah kita sedang membangun masa depan, atau sedang menghancurkan warisan yang tak ternilai?

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LAINNYA