Foto: Situasi Banjir di Bunta (Sumber; Polantas Polres Morut) Renungan Kepemimpinan dalam Lingkaran Bencana: Antara Kepemimpinan Bencana dan Bencana Kepemimpinan
Oleh: Hendly Mangkali
Banjir telah menjadi bencana yang berulang dan tak kunjung usai di berbagai daerah. Setiap tahun, masyarakat dihadapkan pada kenyataan pahit kehilangan rumah, mata pencaharian. Dalam situasi seperti ini, pertanyaan besar yang patut direnungkan adalah: seperti apa kepemimpinan yang kita butuhkan dalam ruang lingkup bencana?
Ada dua karakter kepemimpinan yang sering muncul saat bencana melanda. Yang pertama adalah kepemimpinan bencana—sebuah bentuk kepemimpinan yang tangguh, tanggap, dan bertanggung jawab dalam menghadapi bencana. Yang kedua adalah bencana kepemimpinan—yakni kepemimpinan yang justru menjadi bagian dari masalah, bahkan memperparah kondisi yang ada.
Dalam konteks kepemimpinan bencana, manusia—khususnya pemimpin—memegang peranan kunci. Pemimpin yang memahami pentingnya ketahanan bencana tidak hanya hadir saat banjir datang, tetapi sudah bersiap jauh sebelumnya. Mereka membangun sistem peringatan dini, memperkuat infrastruktur pengendali banjir, serta mengedukasi masyarakat agar lebih waspada dan siap menghadapi risiko.
Lebih dari itu, mereka berani melihat akar persoalan. Dalam kasus banjir tahunan, persoalan tidak hanya terjadi di hilir, tetapi juga di hulu sungai. Penebangan hutan, alih fungsi lahan, dan degradasi daerah tangkapan air menjadi penyebab utama meningkatnya debit air yang tidak tertampung. Pemimpin yang memiliki visi jangka panjang akan memastikan bahwa kawasan hulu mendapat perhatian serius, termasuk melalui upaya rehabilitasi hutan dan pengawasan ketat terhadap aktivitas pembukaan lahan.
Tak hanya itu, aktivitas perusahaan yang menyebabkan penyempitan sungai juga menjadi sorotan. Pemimpin yang berpihak pada keselamatan warga akan bersikap tegas terhadap pelaku usaha yang abai terhadap dampak lingkungan. Kepemimpinan seperti inilah yang dibutuhkan: berpihak pada rakyat, berpikir strategis, dan bertindak konkret.
Sebaliknya, bencana kepemimpinan muncul ketika seorang pemimpin tidak memiliki kapasitas dan kepedulian dalam menghadapi bencana. Cara berpikir jangka pendek, sekadar reaktif tanpa perencanaan strategis, adalah ciri utama dari bencana kepemimpinan. Banjir dianggap sebagai “kejadian musiman” yang cukup dihadapi dengan bantuan logistik dan kunjungan lokasi.
Dalam model kepemimpinan seperti ini, upaya mitigasi hampir tidak dilakukan. Penanganan hanya bersifat tambal sulam. Tidak ada kebijakan tegas terhadap aktivitas yang merusak lingkungan. Tidak ada sinergi antarsektor. Tidak ada penguatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Semua berjalan ala kadarnya, dan rakyat dibiarkan terus menjadi korban.
Lebih buruk lagi, ketika pengelolaan bencana hanya dijadikan ajang pencitraan atau politik anggaran. Ini adalah bentuk malpraktik kepemimpinan yang tidak hanya melemahkan sistem ketahanan bencana, tetapi juga memperpanjang penderitaan masyarakat.
Sudah saatnya kita menilai kepemimpinan bukan hanya dari penampilan saat bencana, tetapi dari kesiapan dan ketegasan sebelum dan sesudahnya. Pemimpin yang sejati adalah mereka yang menanam investasi jangka panjang dalam ketahanan lingkungan, kebijakan tata ruang yang adil, serta pemberdayaan masyarakat.
Kepemimpinan yang tangguh tidak lahir dari sorotan kamera, melainkan dari kerja senyap dan konsisten dalam membangun sistem perlindungan bagi rakyat. Sebab pada akhirnya, bencana bukan hanya soal alam, tapi juga soal bagaimana kita memimpinnya.
No Comments