Wilayah Puncak Sakral Digusur, Masyarakat Adat Suku Wana Taa Barangas Berharap Bertemu Gubernur Sulteng

2 minutes reading
Sunday, 1 Jun 2025 08:02 300 Redaksi Lipsus

MOROWALI UTARA – Penanaman perdana kelapa sawit di Dusun Padangkalan, Desa Menyo’e, Kecamatan Mamosalato, Morowali Utara, mendapat penolakan dari masyarakat adat anak suku Wana Taa Barangas. Mereka menyatakan akan terus menyuarakan penolakan selama wilayah adat yang dianggap sakral tetap disentuh tanpa persetujuan dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya mereka.

Ruslan Labangara, perwakilan masyarakat adat sekaligus putra dari Mustakim Labangara, tokoh Wana yang dikenal gigih mempertahankan hak adat, menyampaikan bahwa aktivitas perusahaan telah memasuki kawasan yang selama ini diyakini sebagai pusat kehidupan dan spiritualitas komunitas Wana.

“Di lokasi itu terdapat sembilan situs penting, dan dua di antaranya, Watanono dan Karatu, telah terdampak oleh aktivitas pembukaan lahan. Kami sudah turun langsung ke lapangan bersama pihak perusahaan dan kepolisian, dan kami melihat sendiri, beberapa situs termasuk kuburan nenek moyang kami telah digusur” ujar Ruslan.

Ia menjelaskan, Watanono bukan sekedar nama tempat, melainkan situs bersejarah yang memiliki nilai sakral tinggi bagi masyarakat Wana. Di sanalah dahulu dilakukan prosesi pemotongan tali pusar bayi yang baru lahir, tradisi yang hanya bisa dilakukan di mata air alami yang penuh makna. Karatu pun memiliki sejarah panjang, terutama pada masa konflik dahulu, di mana banyak leluhur Wana gugur di sana. Sungai kecil di Watanono tersebut sampai hari ini banjir disaat musim panas, tetapi airnya kecil disaat musim hujan.

“Tempat-tempat ini bukan sekadar lahan kosong. Mereka adalah bagian dari sejarah kami, memori kolektif kami, dan jiwa komunitas kami. Bila tempat ini digusur, maka seolah-olah jejak kami ikut dihapus,” tambahnya.

Menurut Ruslan, tuntutan masyarakat Wana sangat sederhana: kembalikan hak atas tanah adat mereka.

“Kami bukan menolak pembangunan. Kami hanya ingin hak kami dihormati. Jangan ganggu tanah adat, tanah Ulayat kami harus dibebaskan, dan di situlah kami berdiri. Siapa pun yang masuk dan menggusur tanpa seizin kami, akan kami tabrak. Karena bagi kami, mempertahankan tanah ini bukan sekadar hak, tapi kewajiban yang diwariskan leluhur,” tegasnya.

Masyarakat adat Wana berharap agar pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah dan perusahaan, dapat membuka ruang dialog dan menyelesaikan persoalan ini secara arif dan berkeadilan, dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan penghormatan terhadap kearifan lokal.

Mereka juga siap bertemu dengan Gubernur Sulteng jika di panggil agar semuanya menjadi jelas. Saat ini dari 9 situs sejarah, sudah 2 situs yang bergeser karna digusur.

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LAINNYA